Langit di sebelah barat masih memerah, beberapa saat setelah matahari tenggelam di balik garis horizon. Awan-awan di atasnya pun berwarna merah bersemu orange.

Debur ombak menghantam pasir pantai berwarna hitam. Lalu, seperti berkejaran untuk kembali ke samudera. Buihnya meninggalkan jejak putih, seperti kenangan yang pernah ada namun menghilang bersama waktu.

Bayu senja itu bertiup cukup kencang, menghembuskan aroma khas laut. Malam perlahan melangkah, sejengkal demi sejengkal merangkul daratan dengan gelapnya. Menyelimuti pesisir itu dengan hitam nan kelam.

Pelan tapi pasti, gemintang memamerkan sinarnya yang cemerlang. Berkedip manja di sela langit nan mulai menghitam. Meski, sang rembulan dengan angkuh memantulkan sinar mentari.

Aku masih terduduk di cadik perahu kecil nelayan. Jemari kakiku basah oleh air laut yang dibawa angin ke tepian. Bau amis sisa ikan tangkapan, bermain dan menggelitik hidungku.

Dari arah belakang, siluet Wuri dan Pramono, tergambar di antara siluet pohon nyiur yang menjulang. Keduanya saling memeluk. Lengan kanan Wuri memeluk pinggang Pramono, sedangkan lengan kiri Pramono, melingkar pada bahu Wuri.

Mereka semakin dekat dengan tempatku. Sudah hampir empat jam aku duduk di sini, di tepi pantai yang kata orang, merupakan gerbang kerajaan laut.

Suara cekikikan manja dari Wuri, semakin jelas terdengar, meski sedikit samar karena terbawa tiupan angin. Sementara, suara Pramono tidak sedikit pun terdengar, kecuali saat dia menegurku.

"Tetty, jangan kebanyakan ngelamun di sini. Nanti kesambet lho, atau dibawa sama penguasa laut ke kerajaannya," ucap Pramono mengolokku sambil tertawa.

Wuri menimpali candaan kekasihnya dengan tertawa kecil. Sekilas aku bisa melihat  jemarinya mencubit pinggang Pramono.

Bulan semakin benderang memancarkan pantulan sinar mentari. Bentuknya bulat utuh, berwarna kuning muda bersemu putih. Hanya iringan awan kelabu sedikit menutupi tepinya.

Pramono dan Wuri mengajakku kembali ke villa, karena teman-teman sudah menunggu. Mereka membakar ikan dan cumi-cumi untuk santap malam. Tapi aromanya tidak sampai ke tepi pantai ini. Mungkin terbawa oleh angin.

Aku masih enggan beranjak dari tempat ini, meski dingin mulai menusuk. Pramono dan Wuri kuminta untuk  kembali ke vila terlebih dahulu.

Mereka pun kembali berjalan menuju vila, tanpa tahu bahwa tatapku mengikuti langkah keduanya. Baru beberapa puluh meter dari tempatku, aku melihat siluet Pramono mencium kening Wuri. Tapi aku tak peduli.

Tak terasa, aku mulai menangis. Dada dan bahuku terguncang. Tapi, tak ada suara yang keluar dari bibir mungilku. Aku tak mau suara isakku terdengar oleh siapapun, bahkan oleh angin yang mencoba merayuku dengan dingin peluknya.

Tiba-tiba ada jemari yang memegang pundakku dengan lembut. Lalu, mencoba menggenggam jemariku di bawah sinar rembulan. Aku menoleh untuk melihatnya. Ternyata Pramono. Dia tersenyum sambil mengusap bahuku, untuk menenangkanku.

Aku menepiskan tangannya, lalu bergerak menjauh. Aku tidak mau ada seorang pun melihat Pramono memeluk pundakku, terlebih sahabatku, Wuri.

"Kamu mau ngapain, Pram? Jangan gitu, aku nggak suka. Apa kata Wuri kalau dia lihat?," ucapku berusaha mengelak.

Pramono tertunduk mendengar ucapanku. Lalu, dia kembali mendekatiku, sambil menjelaskan sesuatu.

"Wuri nggak akan ke sini. Dia lagi asyik karaokean di vila. Aku bisa jelaskan semuanya, Tet. Tolong dengarkan aku. Selama ini kamu tidak pernah mau dengar penjelasanku," jelasnya sambil kembali mencoba meraih jemariku.

Kali ini aku tidak berusaha mengelak. Kubiarkan jemarinya menggenggam erat jemariku. Kubebaskan Pramono menarikku berjalan menuju ke barat, menuju jalanan yang entah kapan muncul di hadapanku.

Genggaman Pramono pada jemariku, membuat pikiranku melayang pada beberapa bulan lalu. Aku terhanyut oleh kenangan yang muncul, hingga tak kusadari bahwa seharusnya di depanku bukan jalanan, tetapi menuju lautan luas.

Aku tak merasakan tubuhku yang basah oleh deburan ombak. Yang aku tahu, aku berjalan bergandengan dengan Pramono, menuju istana megah berlapis emas di sebelah barat.

Dari kejauhan, kilau istana itu sudah terlihat. Semakin mendekati istana, cahaya semakin benderang. Dua penjaga berdiri di sisi kanan dan kiri gerbang istana. Keduanya adalah perempuan berparas ayu, dengan dua tombak di tangannya.

Saat aku melewati gerbang, mereka menunduk sebagai tanda hormat. Pramono tetap menggenggam tanganku, dan menarikku memasuki istana.

Namun, sebelum aku memasuki area semacam aula istana, Pramono melepaskan genggamannya, lalu kembali menuju keluar. Aku tidak menahannya, karena suasana di ruangan itu membuatku kagum.

Pada dinding ruangan, tergantung lukisan bergambar wanita cantik mengenakan pakaian tradisional, berwarna merah. Dia duduk di singgasana berlapis emas, dengan ukiran bermotif perahu dan ombak.

Rambutnya yang panjang terurai. Mahkota di atasnya menunjukkan bahwa dia adalah ratu. Tangannya diletakkan di atas paha, dengan beberapa gelang emas yang menghiasi.

Bersambung...