Sepertinya aku kehabisan bahan untuk menulis cerita seram. Sudah hampir tiga jam aku berpikir untuk menulis, tapi semua ide seram dan kisah nyata yang pernah kudengar seperti menguap.
Aplikasi notepad pada ponselku sejak tadi kosong. Tidak satu pun huruf terketik hari ini. Tadi aku sempat membayangkan sesuatu yang seram. Aku membayangkan sedang berada di pemakaman yang gelap dan sunyi, tapi entah kenapa, aku berpikir bahwa itu bukan hal yang seram.
Aku juga mencoba membayangkan sedang berada di salah satu hutan angker di Gunung Arjuna, tapi bayangan itu pun tidak menyeramkan. Satu-satunya hal menyeramkan yang terlintas di pikiranku adalah membayangkan kamu menolak pinanganku.
Tapi aku segera menepis bayangan itu, karena selain sangat menyeramkan, cerita tentang itu pun tidak mungkin kutulis.
Akhirnya aku memilih untuk tetap baring-baring di kasur ini, sambil membuka-buka chat atau obrolan di beberapa grup Whatsapp. Mudah-mudahan ada obrolan yang mampu memberiku ide untuk menulis cerita seram.
Suara air hujan yang jatuh di atap seng kamar kosku terdengar berirama, seperti beberapa orang yang sengaja memukulnya secara bersamaan.
Sesekali kilat menyambar, kemudian disambung dengan suara guntur yang menggelegar, menyamarkan suara guyuran hujan pada atap kamarku.
Perutku mulai lapar, tapi aku enggan keluar untuk membeli seporsi nasi rames. Aku lebih memilih sedikit menahan lapar daripada menembus derasnya hujan.
Setengah jam berlalu, aku mencoba melihat ke luar. Langit masih tampak jingga kemerahan. Sepertinya hujan kali ini akan lama. Sementara cacing-cacing di perutku semakin kencang menggeliat.
Akhirnya aku memutuskan untuk memesan makanan melalui aplikasi ojek online. Tapi beberapa kali pesananku ditolak. Mungkin para pengemudinya juga enggan keluar di tengah hujan sederas ini.
Aku mengambil jaket yang tergantung di dinding dan menyambar kunci motor di atas meja. Setelah mengunci pintu kamar, aku menuju tempat sepeda motorku terparkir.
Tapi, angin malam yang dingin dipadu dengan percikan air hujan, seperti membuat semangatku mengkerut. Padahal helem merah kesayanganku sudah nangkring di kepala. Aku mengurungkan niatku untuk keluar mencari makan malam.
Suasana malam ini seperti berbeda dengan malam-malam lain. Dinginnya menusuk hingga ke tulang, padahal jaket yang kukenakan cukup tebal. Jarum jam pada arlojiku juga masih menunjukkan pukul delapan malam lewat sedikit.
Aku kembali ke kamar, menyimpan kunci sepeda motor dan jaket, lalu naik ke tempat tidur dan menyelimuti tubuhku.
Tiba-tiba aku teringat, bahwa aku masih menyimpan dua bungkus mie instan dan sebutir telur di laci meja. Biasanya aku sarapan sebungkus mie instan dan telur rebus sebelum berangkat kerja.
"Lumayanlah untuk mengganjal perut sambil menunggu hujan reda," pikirku sambil mengambil mie instan dan telur itu.
Seperti biasanya, aku menyiapkan panci dan piring untuk tempat makananku nanti. Sebetulnya aku cukup beruntung mendapatkan tempat kos seperti ini. Pemilik kos menyiapkan dapur dan peralatan masak. Semuanya bebas digunakan oleh anak kos.
Bukan hanya menyiapkan peralatan memasak. Asisten rumah tangga pemilik kos juga bertugas mencuci alat-alat masak itu, kecuali piring masing-masing anak kos.
Aku merasa sedikit lebih hangat saat berada di dapur. Hawa panas dari kompor gas cukup mampu mengusir dingin.
Setelah selesai memasak dan menaruh panci di tempat piring kotor, aku membawa mangkuk berisi mie instan panas itu ke kamarku.
Tapi saat akan keluar dari dapur, aku tersentak. Toni, penghuni kos di samping kamarku tiba-tiba berdiri di depan pintu dapur. Padahal aku ingat sekali, tadi tidak ada siapa pun di situ.
Toni menatapku tanpa berkedip. Wajahnya pucat. Rambut Toni terlihat basah. Mungkin dia kehujanan.
"Anjiiir... Kamu ngagetin aku aja, Ton. Kapan datang?," tanyaku.
Setahuku Toni sedang cuti dan pulang kampung sejak tiga hari lalu. Kampungnya tidak terlalu jauh dari kota ini, hanya sekitar tiga jam perjalanan jika menggunakan sepeda motor.
Saat berangkat, Toni mengatakan dia akan menjemput adiknya, dan akan membawanya ke sini, karena adiknya berencana kuliah di kota ini.
Toni baru saja akan menjawab pertanyaanku saat ponselku berdering. Mulutnya sudah terbuka, tapi dikatupkannya kembali.
Aku meletakkan mangkuk mie di meja depan dapur, lalu mengambil ponsel dari kantong celana. Rupanya alarm ponselku yang berbunyi. Aku lupa mematikannya tadi.
Tadinya aku memasang alarm karena berniat keluar malam ini. Tapi hujan yang tadi cukup deras, membuatku membatalkan rencana untuk pergi. Padahal hari ini belum satu pun berita yang kukirim ke kantor.
"Bro, tadi ada lakalantas (kecelakaan lalu lintas), waktu aku menuju ke sini. Korbannya dua orang, semuanya meninggal di tempat," kata Toni setelah aku memasukkan kembali ponselku.
Perkataan Toni membuatku batal mengambil mangkuk mie di atas meja. Maklum saja, profesiku sebagai jurnalis mengharuskan aku mengirim berita setiap hari. Sementara hari ini tidak ada satu pun yang kukirim.
"Lokasinya di mana, Ton? Kejadiannya jam berapa?," tanyaku.
Toni menjelaskan kronologis kecelakaan itu. Kata Toni, korbannya adalah dua pengendara sepeda motor yang berboncengan. Mereka ditabrak oleh truk yang melaju kencang dari arah yang sama.
"Lokasinya nggak jauh dari terminal. Kalau dari arah sini, pas di tikungan sebelum jembatan. Truknya masuk ke jalur lambat, jadi korbannya terpental ke dalam sawah dan mati di tempat," Toni merinci lokasi kecelakaan.
Kata Toni, pengemudi truk melarikan diri bersama truknya, setelah mengetahui bahwa korbannya meninggal dunia.
"Oke Ton, entar kalau hujan reda aku langsung ke sana, sekalian cari makan malam. Makasih ya," kataku sambil membawa 'pengganjal perutku' ke dalam kamar.
Belum cukup dua menit aku berada di kamar, suara hujan di atap kamarku tiba-tiba berhenti. Spontan aku menengok keluar melalui jendela. Ternyata hujan sudah reda.
Hanya membutuhkan waktu kurang dari tujuh menit untuk menghabiskan mie instanku, dan hanya tiga menit untuk berkemas menuju lokasi kecelakaan.
Tapi, saat aku tiba di tempat yang dijelaskan oleh Toni, tidak terlihat bekas-bekas adanya kecelakaan. Tidak ada juga orang berkerumun seperti layaknya saat menemukan mayat.
Aku mencoba menelusuri pesawahan di pinggir ringroad itu. Berharap menemukan sepeda motor dan korban lakalantas yang dikatakan Toni.
Hampir lima menit aku menyusuri tempat itu, sampai akhirnya aku melihat satu unit sepeda motor tergeletak di parit, di antara pesawahan dan jalanan.
Sepeda motorku kuarahkan ke tempat itu, lampunya sengaja kusorot ke arah sepeda motor tersebut. Jantungku berdetak kencang, karena sepeda motor itu sangat mirip dengan milik Toni.
Setelah memarkir sepeda motorku, aku bergegas mendekati sepeda motor di dalam parit. Beberapa meter dari sepeda motor itu, ada dua orang tergeletak. Tapi aku tidak tahu jenis kelaminnya, karena suasana cukup gelap.
Jantungku semakin kencang berdetak saat mendekati kedua orang itu. Aku menyalakan senter pada ponselku, dan menyorot keduanya. Tubuh dan jaket yang dikenakan sangat mirip dengan milik Toni. Tapi aku tidak berani menyentuh apalagi membalikkan sosok dengan posisi tengkurap itu.
Satu-satunya cara yang aman untuk mengetahui identitas kedua korban adalah menelepon polisi. Aku memilih langkah itu, dan menelepon Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) Polres kota ini.
Tak cukup lima belas menit kemudian, dua unit mobil patroli polisi tiba di lokasi. Dua di antaranya mengenalku, dan meminta keterangan. Sementara rekannya yang lain langsung menuju ke arah dua korban lakalantas.
Hanya beberapa menit berselang, aku dan dua polisi kenalanku menyusul dua rekannya. Kedua polisi itu sudah selesai memeriksa kondisi korban.
"Dua-duanya meninggal dunia. Jenis kelaminnya laki-laki. Dugaan sementara ini kasus tabrak lari, karena sepeda motornya hancur," kata salah seorang dari mereka, sambil mengarahkan senter pada kedua pria itu.
Hampir saja aku pingsan saat cahaya senter menyorot wajah salah satu korban. Pandanganku kabur dan kepalaku terasa berat saat melihatnya. Pria yang meninggal itu adalah Toni.