Cermis.id- Pencarian Aru mulai menguras energi saya. Pikiran, perasaan, psikis, dan kondisi fisik saya saat ini sudah sangat kelelahan. Sementara itu, Bajo mengatakan sesegera mungkin, kami harus menjemput Aru. Jika saja terlambat, Aru dan bayi dalam kandungannya tidak bisa selamat.

Saat itu, yang ada di pikiran saya memang hanya Aru dan bayi kami, tapi kondisi tubuh yang drop membuat saya tidak stabil. Mana mungkin saya bisa menyelamatkan mereka, jika saya tidak bisa menstabilkan kondisi tubuh saya sendiri.

Akhirnya, saya mengingat-ingat kembali fappaseng atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pesan/wasiat dari orang tua terdahulu. Nenek saya pernah berpesan, dalam kondisi apapun selalu memperbaiki faringerrang atau ingatan atau kesadaran.

Cerita awal: Istri Saya Seorang Parakang I

Ada dua waktu dalam hidup manusia untuk memperbaiki kesadarannya, yakni sebelum dan setelah tidur. Jika dalam kedua waktu itu, manusia mampu memperbaiki ingatan atau kesadarannya, niscaya akan mampu menstabilkan rasa tubuhnya. Berbekal wasiat itu, sayapun melakukannya.

Kemarin malam, sebelum tidur, saya membaca baca-baca/mantra yang diberikan oleh Nenek dan telah saya gunakan sejak SMP. Setelah itu, saya menghembuskan nafas di kedua tangan dan merasakan di sebelah mana nafas itu paling kuat berhembus.

Hembusan nafas saya paling sering terasa di tangan kanan, begitupun yang terjadi tadi malam. Karena hembusan nafas itu paling kuat di sebelah kanan, maka saya merebahkan tubuh saya terlebih dahulu di sebelah kanan. Lalu, membaca ayat kursi berulang kali hingga terlelap.

Baca juga: Istri Saya Seorang Parakang II

Sebelum merebahkan tubuh, saya harus melihat dalam ingatan saya sendiri bahwa esok hari saat melakukan proses pencarian, saya berhasil menemukan Aru dan bayi kami. Pada saat terbangunpun demikian, saya harus menghembuskan nafas di kedua tangan  untuk mengetahui di sebelah mana saya harus bangun, kanan atau kiri.

Baca juga: Istri Saya Seorang Parakang III

Setelah melalui proses menstabilkan kondisi  itu, meski dengan kondisi fisik yang teramat lelah, saya meyakinkan diri.

"Bajo bagaimana perasaan ta, saat tadi pagi terbangun. Nenek saya selalu mengatakan, yang menjadi patokan kita menjalani waktu seharian adalah saat bangun pagi. Kalau perasaanmu tenang, semoga menjadi pertanda baik. Kita bisa menyelamatkan mereka," begitu ucapan saya kepada Bajo saat perjalanan menuju rumah Aru di subuh hari.

"Sebelum bangun, saya sudah meyakinkan ingatan saya kalau kita bisa menyelamatkan mereka, Mapta. Kamu harus tenang, jangan gelisah. Siapkan jiwa dan fisikmu."

Kami terus menyusuri jalan perkampungan. Di sisi kiri dan kanan kami, kondisi masih sepi. Hanya beberapa orang tua yang tertatih menuju masjid untuk salat subuh.

Baca juga: Istri Saya Seorang Parakang IV

Di belakangnya saya dan bajo terus berjalan, juga menuju masjid. Selepas salat subuh, kami berencana ke rumah Aru terlebih dahulu. Dari situ, bajo akan melakukan beberapa ritual untuk mengetahui di mana keberadaan mereka.

Baca juga: Isteri Saya Seorang Parakang V

Bajo mengambil air dalam sebuah wadah agak besar. Ia mulai merapalkan beberapa mantra. Mulutnya terlihat komat-kamit. Saking heningnya, saya dapat mendengar hembusan napas saya sendiri.

Baca juga: Isteri Saya Seorang Parakang VI

Gesekan suara daun jambu air karena angin yang terlewat terdengar begitu nyaring. Malam yang begitu hening tapi ternyata mampu menstabilkan rasa.

Beberapa menit kemudian, saya melihat mulut Mapta berhenti komat-kamit. Ia lalu, memasukkan jempol tangganya ke dalam mulut dan menemplkannya di langit-langit mulutnya lalu ditempelkan kembali ke dalam air berwadah besar tadi. Katanya, itu untuk menerawang dan menjaga Aru agar tidak hilang kesadarannya.

Baca juga: Isteri Saya Seorang Parakang VII

Bajo mengatakan, mereka masih selamat dan sedang menunggu pertolongan. Dari penerawangannya, tubuh mereka tak jauh dari tempat ini. Sekitar dua kilometer dari kampung Aru.

"Kita harus bergerak sekarang Bajo."

Bersambung