Setelah sepekan kejadian kaburnya si parakang, warga masih ramai membahas. Saya sebenarnya tidak terlalu ingin ikut campur karena memang tidak menyukai hal-hal yang seperti itu.
Baru kali ini , saya sangat gelisah. Setiap ingin tidur, saya seperti melihat mata anjing itu. Anehnya lagi, tatapan matanya seperti mengikuti saya ke mana pun. Sampai ke dalam mimpi. Yang lebih mengagetkan ketika saya melihat istri saya, bayangan mata anjing yang merupakan jelmaan parakang tergambar semakin kuat.
Saya semakin gelisah. Sampai suatu hari, Ibu saya menelepon. Katanya, ia ingin berbicara penting, tapi harus bertemu dan tidak boleh mengajak siapapun termasuk isteri saya.
Hari itu juga, saya pamit kepada isteri. Saya mengatakan akan ke rumah Ibu. Karena selama ini saya selalu terbuka dengannya, maka kali inipun saya jujur. Saya mengatakan kepadanya jika ibu ingin berbicara 4 mata.
Istri saya mengizinkan, tapi saya melihat ada gurat kesedihan di wajahnya. Entah kenapa.
Wajahnya seolah tak sabar menunggu kedatangan saya. Ibu menatap langkah anak laki-laki satu-satunya dari lego-lego (teras) rumahnya. Saya menatapnya penuh senyuman. Sambil mengambil tangannya, saya pun memeluknya. Dalam pelukan itu, Ibu lalu memangis.
Saya heran sekaligus cemas. Tidak biasanya Ibu bersikap begini. Sebagai perempuan yang telah 21 tahun menjadi Ibu sekaligus bapak dari anak-anaknya, ia adalah perempuan yang tegar. Sangat tegar bahkan.
Ibu semakin memeluk kencang, belum berhenti sesenggukan, ia berkata dengan terbata-bata. “Nak, bercerailah dengan istrimu.”
Seperti petir menyambar, tubuh saya tiba-tiba menjadi kaku. Beberapa menit, saya berupaya mengendalikan diri. Ibu melanjutkan, seolah tahu jika saya akan mempertanyakan kembali kata-katanya.
“Istrimu ternyata seorang parakang. Sudah seminggu ini Ibu pergi mencari tahu. Saya mendatangi keluarganya, bahkan orang-orang yang pernah menjadi tetangganya.” Ibu berkata lemah.
Bayangan tatapan mata itu datang lagi. Semakin kuat. Kata-kata Ibu terekam dalam pikiran saya bersamaan dengan peristiwa ditangkapnya anjing parakang oleh warga.
Entah kenapa, perasaan saya semakin kuat jika istri saya yang saat ini ada di rumah memang seorang parakang. “Ya Tuhan, penderitaan ini hampir-hampir tak bisa saya hadapi.”
Ibu lalu menuntun saya ke dalam. Dalam kamarnya, ia memperlihatkan secarik kertas serta dupa-dupa yang ia ambil dari bekas rumah istri saya.
Saya tertegun, tak bisa berkata apa-apa.
Saat ini, yang ingin saya lakukan adalah bertemu dengan istri saya sekarang. Apapun yang terjadi, dia harus menjelaskannya.
Tanpa mengucapkan salam, saya langkahkan kaki menuju pintu rumah. Sunyi dan suram. Rumah gelap. Lampu belum ada yang dinyalakan padahal hari sudah melewati senja.
Ada perasaan aneh saat ingin memanggil namanya. Bukan karena takut, tapi aneh saja. Namun, ia memang tak ada di mana-mana. Tak ada di semua kamar, tak ada di dapur, tak ada di toilet, tak ada di loteng.
Pelan-pelan, saya menuju kamar terakhir yang juga merupakan kamar kami. Barangkali saja ia ketiduran. Sayang sekali, ia memang sudah pergi dari rumah ini.
Perlahan, saya melihat bayangan sendiri menuntun ke meja rias yang berada tepat di depan ranjang kami. Secarik kertas berukuran kecil tergeletak di anatara perkakas kecantikan. Ia menulis:
“Saya tahu suatu saat kamu pasti mengetahuinya, saya akan pergi sendiri dari hidupmu. Pergi dari rumah bersama anak dalam rahim saya saat ini.”