Seperti malam-malam sebelumnya, setiap lewat tengah malam, pintu depan selalu diketuk-ketuk. Suara ketukan pintu itu tidak akan berhenti, sebelum pintu dibuka.
Awalnya, saat menempati rumah ini beberapa tahun lalu, aku dan istriku, Dini, tidak memperhatikan adanya suara ketukan itu. Tapi sekitar sepekan setelah tinggal di sini, kami mulai merasa ada yang janggal.
Kami mulai memperhatikan, bahwa suara ketukan itu selalu hadir setiap malam. Termasuk malam itu, malam pertama kali kami tahu bahwa ketukan itu benar-benar nyata.
Malam itu hujan gerimis. Suara tetesannya yang jatuh menimpa seng di halaman rumah, terdengar teratur. Udara cukup dingin, meski tak sampai menusuk hingga ke tulang.
Di sela suara tetesan gerimis, terdengar seperti suara pintu yang diketuk. Sebenarnya sejak beberapa hari, suara itu terdengar, namun tersamarkan oleh hujan deras yang turun setiap malam. Apalagi, waktunya tengah malam, bukan waktu yang lazim untuk bertamu.
Ketukan di pintu rumah kembali terdengar. Kali ini sedikit lebih keras. Dini menatapku, dan memberi isyarat agar aku membuka pintu, untuk melihat siapa yang datang.
Dini menemaniku menuju ruang tamu. Dia mengikutiku dari belakang. Kata dia, bulu kuduknya merinding. Aku cuma tertawa menjawab pernyataannya.
"Mungkin ada tetangga yang perlu bantuan, makanya ketuk-ketuk tengah malam," kataku menenangkan.
Aku menyalakan lampu ruang tamu, dan meminta tamu itu menungguku membuka pintu. Tapi, tidak ada jawaban dari luar. Hanya suara rintik gerimis dan detak jam dinding di ruang tamuku.
Dari balik gordyn ruang tamu, aku melihat, tamu itu mengenakan pakaian berwarna putih. Tapi aku tidak bisa melihat jelas, karena gordyn itu cukup tebal.
Tapi, saat pintu kubuka, aku hampir saja pingsan, karena sosok putih itu, ternyata pocong yang berdiri di depan pintu. Dini yang berada di belakangku, terpekik melihatnya.
Pocong itu diam tanpa suara. Matanya dengan kelopak menghitam, menatap kami berdua. Lalu dia berbalik dengan melompat, dan menuju ke samping rumah.
Aku tidak tahu bagaimana cara dia mengetuk pintu rumahku, karena kedua tangannya tersembunyi di balik kain putih.
Tapi, aku tidak sempat lama memikirkan hal itu, karena rasa takut dan kagetku lebih besar. Pintu rumah buru-buru aku tutup kembali.
Aku dan Dini kembali masuk ke dalam kamar. Dini masih terlihat syok. Sebetulnya aku pun begitu. Hanya saja, aku berusaha tenang, agar Dini tidak menjadi lebih panik.
"Mas Mija, itu tadi pocong beneran ya?," tanya Dini padaku, untuk memastikan.
Sungguh malam itu terasa amat panjang. Tidur kami tidak nyenyak. Aku tahu, bahwa Dini beberapa kali terbangun. Tapi aku memeluknya, agar dia menjadi lebih tenang.
Saat pagi tiba, gerimis masih menetes, tapi mendung yang menggantung di langit, tidak terlalu tebal. Sinar mentari masih mampu menghangatkan pagi.
Penjual sayur keliling sudah ada di depan pagar rumah, tempat biasanya dia menunggu pembeli. Dua perempuan berjalan menuju tempatnya berdiri. Keduanya membawa payung, untuk melindungi tubuhnya dari air hujan.
Wakka, penjual sayur itu, dengan cekatan melayani para pembeli. Tentu saja, diselingi dengan beberapa candaan dan cerita, seperti yang selalu dilakukannya.
Beberapa menit kemudian, Dini pun keluar, untuk membeli sayur dan beberapa bumbu dapur. Riski, anak kami, ikut bersama Dini. Dia ingin membeli beberapa cemilan kesukaannya.
Sebelum keduanya keluar, aku berpesan pada Dini, agar menanyakan tentang pocong tadi malam pada tetangga. Siapa tahu mereka juga pernah mengalami, atau setidaknya mereka mengetahui tentang pocong itu.
Dini mengiyakan permintaanku. Dari dalam rumah, aku memperhatikan obrolan antara Dini dan dua tetanggaku. Mereka terlihat sangat serius berbicara. Sesekali Dini tampak mengangguk-angguk.
"Mas, kata tetangga, pocong itu memang ada. Beberapa warga pernah lihat pocong itu di sekitar rumah kita," ucap Dini setelah selesai berbelanja dan masuk ke dalam rumah.
Ternyata, di sebelah rumahku, dulunya adalah kompleks pemakaman. Tapi, pemakaman itu dipindahkan, dan area itu dibangun perumahan.
Selain bekas pemakaman umum, di sebelah baratnya, terdapat bangunan, yang pernah digunakan sebagai tempat gantung diri.
Meski sudah mendapat penjelasan dari beberapa warga, aku tidak begitu saja percaya. Aku bahkan menduga bahwa pocong itu hanya perbuatan orang iseng, karena wajah dan bentuknya sangat nyata. Seperti bukan makhluk gaib.
Aku berencana untuk menangkap orang iseng itu malam nanti, jika dia kembali datang dan mengetuk pintu rumahku.
Malam harinya, aku dan Dini sengaja memperlambat tidur. Kami berniat untuk menunggu kehadiran pocong itu, meski kami tidak yakin, bahwa makhluk itu akan datang lagi.
Hingga tengah malam, tidak ada suara ketukan di pintu rumah kami. Cuaca malam itu cukup cerah, sehingga suara kerikil yang terinjak pun, akan bisa kami dengar dari ruang tamu.
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 01.27, tapi pocong yang kami tunggu tidak juga datang. Aku dan Dini sudah berdiri dan berniat masuk ke kamar. Tapi tiba-tiba suara ketukan di pintu rumah, kembali terdengar.
Aku memberi kode pada Dini, agar dia tidak berisik. Dengan sedikit berjingkat, pelan-pelan kubuka pintu ruang tamu, yang sengaja tidak aku kunci.
Saat pintu itu terbuka, lagi-lagi sosok pocong itu yang muncul. Tapi, kali jni aku tidak lagi kaget. Aku memandangi pocong yang ada di depanku. Mata kami saling menatap. Untung saja aku masih normal dan tidak akan mungkin jatuh cinta pada bungkusan putih itu.
Setelah mata kami saling menatap, pocong itu berbalik dengan melompat, dan menuju ke samping rumah. Aku mengikutinya dari belakang. Tapi, saat aku berbelok ke samping rumah, makhluk itu sudah hilang.
Jika dia manusia atau orang iseng, tidak mungkin dia hilang secepat itu. Sebab, di samping rumahku tidak ada tempat untuk bersembunyi. Hanya ada tanah kosong.
Aku kembali masuk ke dalam rumah, dan menceritakan hal itu pada Dini. Dini hanya manggut-manggut mendengarnya. Tapi, dia sudah tidak setakut tadi malam.
Malam berikutnya, aku dan Dini sepakat untuk mengabaikan ketukan pocong itu, jika dia kembali datang.
Pocong itu kembali datang dan mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Tapi aku dan Dini tidak mau membukakan pintu. Kami berdua tetap baring di kamar.
Hampir setengaj jam pocong itu mengetuk, seperti menguji kesabaran kami berdua. Akhirnya, setelah hampir satu jam mengetuk, aku keluar dan membukakan pintu.
Kejadian yang sama kembali terulang. Pocong itu berbalik dan menuju ke samping rumah, tanpa melakukan apa-apa dan tanpa mengucapkan apa-apa. Sepertinya dia hanya iseng, dan ingin menyampaikan bahwa dia ada di samping rumahku.
Hingga saat ini, Oktober 2019, setelah hampir lima tahun aku meninggali rumahku, pocong itu selalu datang setiap malam. Hanya mengetuk pintu, menunggu pintu dibuka, dan kembali pergi ke samping rumah.