Aya tidak menyadari, beberapa Bahureksa Ageng mengawasinya dari pohon besar di sekitar rumahnya. Mata mereka yang besar, semakin merah akibat amarah.

Makhluk berbulu dengan tubuh tinggi besar itu, masih menyimpan dendam pada Aya, setelah beberapa hari sebelumnya, Aya membunuh satu dari mereka, dengan membacakan ayat-ayat rukyah.

Beberapa waktu lalu, mereka masih takut mendekati Aya untuk membalas dendam. Sebab, mereka takut Aya membacakan ayat-ayat rukyah itu pada mereka. Tapi, hari ini, hari pertama Aya datang bulan, mereka bertekad menghabisi Aya.

Para Bahureksa Ageng itu berpikir, saat datang bulan, Aya tidak boleh membaca ayat-ayat suci. Selain itu, saat datang bulan merupakan saat-saat terlemah dari perempuan.

Baca juga: Membunuh Hantu Bahureksa Ageng

Sejak sesudah azan Magrib berkumandang, sedikitnya tujuh Bahureksa Ageng bersiap untuk memasuki rumah Aya.

Tidak sulit bagi mereka untuk mendatangi Aya, karena beberapa waktu belakangan, Aya sering melakukan ritual, yang dia pelajari dari buku lawas milik neneknya.

Aya tidak tahu, bahwa ritual yang dilakukannya, adalah ritual mengundang Bahureksa Ageng. Bukan untuk mendapatkan kekayaan, seperti yang tertulis dalam buku itu, meski Bahureksa Ageng pun bisa mendatangkan pesugihan.

Seperti biasa, Aya menyalakan pedupaan di ruangan di dalam rumahnya. Rumah yang ditinggali Aya, terletak cukup jauh dari rumah utama yang ditempati orangtuanya.

Dulunya rumah itu ditempati oleh almarhumah neneknya, yang dikenal memiliki kemampuan melihat hal-hal gaib.

Baca juga: Satu Keluarga Jin Masuk dalam Tubuhku

Sejak kecil, neneknya sering bercerita tentang hal-hal supranatural. Mulai dari beragam mantera untuk menambah kecantikan, hingga bermacam jenis makhluk halus.

Sedikit banyak, Aya terpengaruh. Meski, Aya juga mempelajari ilmu agama, baik dari sekolahnya maupun dari kedua orangtuanya, yang sebetulnya sangat tidak setuju, jika Aya mempelajari ilmu-ilmu aneh dari neneknya.

Seperti ritual pemanggil Bahureksa Ageng itu. Sebenarnya Aya sudah terkena batunya, saat Bahureksa Ageng yang pertama, hadir dalam mimpi.

Beruntung, Aya tidak keterusan, dan melakukan hal yang disarankan oleh Pak Sandro, seorang tokoh agama yang dikenalnya. Bahureksa Ageng yang menyetubuhinya dalam mimpi, berhasil dimusnahkan. Tapi, Bahureksa Ageng lainnya, sudah siap membalas dendam.

Baca juga: Hantu-Hantu di Menara Saidah (1)

Malam semakin larut, saat Aya selesai dengan salah satu ritualnya. Udara cukup dingin, dengan langit yang kelam. Mendung seperti sengaja menutupi sinar gemintang dan rembulan. Aya bergegas menuju kamarnya, untuk beristirahat dan tidur.

Hanya beberapa menit setelah merebahkan tubuhnya, Aya tertidur. Tubuhnya yang lelah, membuatnya tidur cukup lelap.

Beberapa Bahureksa Ageng sudah berkumpul dan mengelilinginya. Satu Bahureksa Ageng menduduki dada Aya sambil mencekik. Bahureksa Ageng lainnya, memegang tangan dan kakinya.

Hal yang sama juga dirasakan Aya dalam mimpinya. Dia meronta-ronta, mencoba melepaskan diri, seperti saat Bahureksa Ageng yang terdahulu, mencekiknya.

Tapi, kali ini dia merasa lebih sulit, karena bukan hanya satu Bahureksa Ageng, tetapi ada tujuh yang mengelilinginya.

Aya hanya bisa meronta-ronta. Nafasnya mulai tersengal. Bahureksa Ageng yang mencekiknya menyeringai, sambil menguatkan cekikan.

Baca juga: Boneka Kayu Pembawa Petaka

Perlahan pandangannya kabur. Malam semakin larut, pedupaan yang tadi sudah dimatikan oleh Aya, tiba-tiba kembali menyala. Aroma dupa dan kemenyan, kembali memenuhi seluruh sudut rumah itu.

Suasananya menjadi semakin mencekam. Aroma mistis menyelimuti seluruh bagian rumah.

Suara burung malam pun terhenti. Hanya angin yang bertiup semakin dingin, dengan langit yang tetap kelam, diiringi kilat yang sesekali menerangi sekitar rumah.

Di dalam rumah induk, ayahnya merasa ada sesuatu yang aneh di rumah itu. Perasaannya tidak enak. Ayah Aya belum tidur, karena masih ada beberapa pekerjaan yang diselesaikan.

Tapi bulu kuduknya berdiri. Perasaannya sama persis dengan saat nenek Aya meninggal. Cuacanya pun nyaris sama. Hanya saja, saat nenek Aya meninggal, hujan turun cukup deras.

Aroma dupa yang berasal dari rumah belakang, tercium hingga ke tempatnya duduk. Dia yakin, ada sesuatu yang sedang terjadi dengan Aya, anak semata wayangnya.

Baca juga: Lampor dan Empat Kerdilnya Hampir Membunuh Kholil

Nalurinya sebagai orangtua, merasakan bahwa Aya sedang dalam kesulitan. "Aya dalam bahaya," ucapnya dalam hati.

Dia beranjak dari tempat duduknya, lalu menuju kamar mandi, untuk mengambil air wudhu. Kemudian dengan perasaan waswas, dia melangkah keluar, menuju rumah belakang, yang ditempati oleh Aya.

Semakin dia dekat dengan rumah itu, aroma dupa semakin tercium. Nuansa mistis pun semakin kental terasa.

Seribanya di rumah belakang, dia beberapa kali mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban.

Tiba-tiba dia seperti melihat bayangan tinggi besar berkelebat. Jantungnya berdegup lebih kencang. Dia semakin yakin, bahwa sesuatu yang diluar nalar sedang terjadi.

Dia mencoba membuka pintu, yang ternyata tidak terkunci. Cahaya lampu yang temaram menyambutnya. Suasana di dalam rumah terasa dingin.

Baca juga: Istri Saya Seorang Parakang I

Saat memasuki kamar Aya, yang juga temaram, dia terkejut, karena ada tujuh sosok tinggi besar sedang mengelilingi anaknya.

Aya sudah tidak bergerak, tapi kentara bahwa dia masih hidup. Tujuh Bahureksa Ageng terlihat marah saat melihatnya masuk.

Ayah Aya merasa ketakutan. Baru kali ini dia melihat makhluk mengerikan itu secara langsung. Almarhumah neneknya Aya, yang juga ibu kandungnya, memang pernah mengisahkan tentang Bahureksa Ageng, tapi dia tidak begitu percaya.

Kali ini dia melihat langsung, bahkan bukan hanya satu, tetapi tujuh Bahureksa Ageng, yang ingin mencelakai anak semata wayangnya.

Satu dari tujuh Bahureksa Ageng mendekatinya, mengulurkan tangan berbulu ke lehernya. Dia berusaha mencekik.

Ayah Aya semakin ketakutan. Tapi, rasa sayangnya pada Aya, lebih besar daripada rasa takut itu. Nyalinya kembali muncul. Perlahan dia membaca beberapa ayat suci.

Bahureksa Ageng yang berusaha mencekiknya, mundur perlahan. Demikian pula dengan beberapa Bahureksa Ageng lainnya, mulai menjauhi Aya.

Saat rapalan doa dari ayah Aya tiba pada Surah Al Baqoroh ayat 255, ketujuh Bahureksa Ageng mulai berlutut sebagaj tanda mohon ampun. Sepertinya para Bahureksa Ageng itu tidak bisa beranjak dari tempatnya. Tapi Ayah Aya melanjutkan doanya.

Ketika dia membaca Surah Al Baqoroh ayat 284 hingga 286, para Bahureksa Ageng itu bersujud. Tapi, ayah Aya tidak menghentikan bacaannya. Dia terus merapal ayat-ayat rukyah, hingga akhirnya ruangan itu menjadi semakin terang karena para Bahureksa Ageng seperti mengeluarkan api dari tubuh mereka.

Bulu-bulu ketujuh Bahureksa Ageng itu terbakar. Mereka berteriak melengking, sebelum akhirnya hancur menjadi abu, dan lenyap tanpa bekas.

Ayah Aya mendekati tubuh anaknya. Dia memeriksa denyut nadi Aya, yang ternyata masih hidup. Kemudian mencoba menyadarkan Aya yang pingsan.

Setelah Aya sadar, dan menjelaskan apa yang terjadi, ayahnya menyuruh Aya untuk menghancurkan seluruh barang-barang peninggalan nenek. Dia yakin, barang-barang itu yang membuat makhluk mengerikan tadi, muncul.

Aya menghancurkan semuanya, bahkan jimat-jimat yang diberikan, juga seluruh peralatan ritual. Setelah semua dihancurkan, Aya memasukkannya dalam karung, untuk dibuang ke sungai pada keesokan harinya.